CONTOH PIDATO KEMAJUAN SEKOLAH
السلا م عليكم ورحمة الله وبركاته
Bismillahirrohmanirrohim
Yang Terhormat kepala sekolah
Yang saya hormati bapak/ ibu guru dan para staf
Dan tidak ketinggalan temen – temenku yang saya cintai
Mari kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah, pertolongan dan nikmatNYA, sehingga kita bisa melakukan aktifitas dengan tanpa halangan suatu apapun. AMIN
Sholawat serta salam kita haturkan pada junjungan kita NAbi besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang yakni agama islam, semoga kita termasuk dalam barisannya (umat) NABI MUHAMMAD , dan mendapatkan syafaatnya baik di dunia maupun di akhirat. Amin !!!
Berdirinya saya disini akan membawakan sebuah pidato dengan tema “ KREATIVITAS dan INOVASI DALAM MEMAJUKAN SEKOLAH”.
Hadirin sekalian yang saya hormati!!!
Mari kita bahas dari tema tersebut :
Pendahuluan
Sistem
dan program pendidikan di seluruh tingkatan, secara umum sudah membutuhkan
revolusi alias perlu diubah total. Di berbagai jenis dan jenjang pendidikan,
kini sekolah cenderung tidak terarah karena kurikulum yang tidak serasi. Proses
pembelajaran pun tidak kreatif dan tidak mendorong kreativitas anak didik. Di
sisi lain, pengelolaan dalam materi pembelajaran kerap tumpang tindih sehingga
mematikan prakarsa pelajar. Kemampuan guru-guru di bidang pedagogik, didaktik
dan metodik juga sangat kurang, sehingga acapkali guru sama sekali tidak
mempedulikan pengembangan kepribadian dan watak anak didiknya.
Pendidikan
di Indonesia makin materialistis. Pendidikan kita juga terperangkap dalam
keyakinan keliru, seolah-olah makin banyak mata ajaran yang dikuasai semakin
terdidik seseorang. Kenyataan itu merupakan materialisme dikdaktis yang harus
segera dihentikan. Lebih ironis lagi, pendidikan yang materialistis itu
bersifat komersial. Tak berlebihan bila istilah penyelenggara sekolah kini
sudah dapat diubah menjadi pengusaha sekolah.
Pendidikan
memang membutuhkan biaya besar, tetapi biaya itu tidak perlu seluruhnya
dibebankan kepada murid (orang tua/wali). Pemerintah sebagai pengayom
masyarakat harus menjalankan asas subsidiaritas. Jika tidak, makin banyak anak
jalanan, anak fakir miskin, anak telantar. Kecen-derungan itu tidak boleh
diabaikan oleh masyarakat dan pemerintah.
Sebaiknya
pendidikan dan persekolahan wajib dibebaskan dari etatisme (pengaruh dan
pengaturan pemerintah yang berlebihan). Pendidikan juga perlu dibebaskan dari
sentralisme (penyeragaman). Harus ada variasi kurikulum, serta dikembangkan
otonomi pengelolaan pendidikan di berbagai kawasan. Otoritas ini memiliki
wewenang penuh untuk mengatur pendidikan di wilayahnya.
Persepsi
Keliru tentang Pendidikan
Ada
tiga persepsi yang kurang benar tentang pendidikan. Pertama, pendidikan hanya
terjadi di sekolah. Kedua, tugas sekolah ialah mengajarkan pengetahuan. Ketiga,
sekolah harus membuat siswa menjadi “manusia siap pakai”.
Akibat
negatif dari kesalahan pertama, pengetahuan tentang pendidikan keluarga tidak
berkembang. Sistem pendidikan nonformal tidak berkembang dan kemampuan bangsa
untuk belajar dari situasi pendidikan nonformal menjadi rendah.
Sedangkan
dampak kesalahan kedua, kemampuan siswa yang rendah untuk mempergunakan
pengetahuan sebagai alat berpikir dan alat untuk memahami serta memecahkan
masalah. Kepekaan siswa terhadap nilai-nilai terhadap norma juga sangat rendah,
baik norma estetis maupun norma synnoetis (norma kehidupan sosial), atau pun
norma etis.
Kesalahan
ketiga berakibat lulusan sekolah tidak cukup menguasai konsep-konsep dasar.
Mereka terpaku kepada keterampilan yang bersifat terapan. Selain itu, tenaga
kerja menjadi kurang retrainable. Persepsi yang sebaiknya, adalah bahwa
pendidikan terjadi sebelum anak masuk sekolah dan sesudah anak tamat sekolah.
Sekolah hanya suatu mata rantai dari suatu kegiatan nyata pendidikan yang luas,
dinamis dan saling ber-sambungan. Tugas sekolah ialah mempersiapkan anak untuk
mengarungi kehidupan, bukan hanya membuat siswa menjadi siap pakai. Untuk itu,
tugas pokok sekolah bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, melainkan me-mupuk
kepekaan terhadap nilai-nilai.
Konsekuensinya,
sekolah harus tahu jenis pendidikan yang telah dilalui anak di keluarga dan
menilainya sejauh mana pendidikan keluarga itu dapat dipergunakan sebagai
landasan untuk menyusun program pendidikan sekolah. Sekolah juga harus
membimbing anak untuk menguasai kemampuan belajar, baik untuk situasi
pendidikan formal, maupun situasi pendidikan nonformal dan informal. Tugas
sekolah adalah melahirkan generasi yang menjadi bagian dari bangsa yang pandai
belajar.
Kurikulum
Padat, Kreativitas Anak Terabaikan
Para
guru sebenarnya menyadari bahwa pelajaran yang memberi kesempatan mengembangkan
kreativitas, sangat dibutuhkan anak. Akan tetapi mereka umumnya tidak tahu
harus berbuat apa dan bagaimana mengatasi keadaan itu. Kesulitan mereka
terutama karena padatnya kurikulum pendidikan sehingga kreativitas anak
terabaikan.
Fakta
menunjukkan minimnya waktu dan pelajaran yang bersifat untuk mengembangkan kreativitas
pada sekolah formal, padahal di sisi lain menurut upaya memunculkan pribadi
kreatif sangat dibutuhkan bagi anak dalam kehidupannya. Dengan demikian, para
guru memiliki kesulitan bagaimana menanamkan dan menumbuhkan jiwa kreativitas
kepada anak.
Diperlukan
adanya pelatihan bagi guru dan penerbitan buku mengenai kreativitas, sebab guru
pun membutuhkan tuntunan. Beberapa sekolah yang secara finansial memadai kini
memang sudah mempunyai tenaga psikolog sosial dan lainnya, tetapi psikolog
pendidikan belum ada, yang mendampingi para guru dan khususnya guru Bimbingan
Konseling dalam membina siswa di sekolah. Namun sekolah-sekolah lainnya belum
mampu ke arah rekruitmen seperti itu.
Dapat
mengerti betapa sulitnya posisi guru, karena kurikulum pendidikan dasar dan
menengah saat ini memang sangat luas. Tentu mereka tak memiliki waktu lagi
untuk mengasah kreativitas siswa. Selain waktu, kreativitas membutuhkan ruang.
“Bagaimana mungkin bisa dilakukan guru jika di ruang kelas diisi 40 atau lebih
anak?”
Hargai
Perbedaan
Untuk
bisa menanamkan kreativitas pada siswa, mestinya kurikulum memfokuskan pada hal
dasar dan esensial, sehingga cukup waktu untuk mengasah kreativitas. Di luar
itu harus pula diperhatikan, harus ada kurikulum yang berbeda karena anak
memiliki perbedaan bakat dan minat.
Terdapat
jalan agar siswa mendapat kesempatan mengasah daya kreativitasnya, yakni dengan
meluangkan waktu untuk keperluan itu. Anak-anak jangan didesak untuk menerima
hafalan yang sebenarnya tak menambah kecerdasannya. Dalam memberikan soal
hendaknya jangan memberi peluang untuk satu jawaban saja. Guru dapat membuat
pertanyaan yang menuntut pemikiran banyak gagasan dan janganlah membuat
semuanya serba seragam, karena setiap anak memiliki pribadi berbeda. Upaya itu
akan menumbuhkan hasil berupa kelancaran dalam berpikir.
Selanjutnya,
faktor originalitas yang bisa dilakukan oleh guru dengan cara lebih luwes dalam
menghargai gagasan unik, bahkan mendorong mereka mengutarakan pendapat lain
dari yang lain. Terakhir, perlu elaborasi dengan memperkaya gagasan dengan
uraian lebih rinci.
Empat
unsur di atas sebaiknya masuk kurikulum sebab hal-hal itu yang menjadi
dasar-dasar kreativitas. Selain berpikir kreatif, perlu pula bersikap kreatif
dengan merangsang anak membuat sesuatu yang baru, membuat sesuatu yang
imajinatif.
Pendidikan
Wadah Pemberdayaan Civil Society
Di
mata penulis, pendidikan dalam arti yang luas memegang peranan yang sangat
strategis bagi setiap masyarakat dan kebudayaan. Bahkan kualitas suatu bangsa
dapat diukur dari sejauh mana kualitas pendidikan yang diberlakukan. Jelaslah
bangsa yang mempunyai pendidikan yang berkualitas akan mampu pula menyediakan
sumber daya manusia yang berkualitas secara menyeluruh. Lebih lanjut penulis
mengatakan, pendidikan tidak hanya sebagai wadah bagi penyiapan SDM bermutu,
melainkan juga menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat warga.
Di
mana letak peranan pendidikan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat madani itu?
Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan
yang mengakui hak-hak serta kewajiban perorangan dalam masyarakat. Sebab, dalam
suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban merupakan batu landasan
dari masyarakat. Masyarakat demokrasi hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban
warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati.
Sudah
barang tentu proses pendidikan dalam masyarakat demokratis mengakui adanya
identitas masyarakat atau bangsa yang berbudaya. Dan pengembangan pribadi di
dalam masyarakat yang berbudaya, baik lokal maupun nasional tidak terelakkan
lagi dalam kehidupan global abad ke-21.
Di
benak penulis, dalam interaksi antara perkembangan kepribadian dengan
kebudayaannya, proses pengembangan pribadi manusia lebih mendasar, karena bukan
sekadar menyerap unsur-unsur kebudayaan secara pasif, tetapi manusia itu
merupakan makhluk yang dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa,
dan rasa secara keseluruhan merupakan sumber bagi perkembangan masyarakat
warga. Di dalam proses yang dinamis itu terjadilah proses hominisasi dan proses
humanisasi yang justru menjadi titik pijak bagi pemberdayaan civil society.
Apa
yang diperlukan dalam membangun masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan?
Penulis mengatakan, untuk mengupayakan civil society, beberapa paradigma baru
dalam pendidikan diperlukan. Paradigma baru itu adalah pendidikan, dari, oleh,
dan bersama-sama masyarakat.
Pendidikan
dari masyarakat artinya pendidikan haruslah mampu memberikan jawaban kepada
kebutuhan masyarakat itu. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari atas, dari kepentingan
pemerintah semata-mata, apalagi dari penguasa; tetapi pendidikan yang tumbuh
dari masyarakat itu sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat
itu sendiri.
Pendidikan
oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan
untuk melaksanakan kemauan negara atau suatu kelompok semata-mata tetapi
partisipasi yang aktif dari masyarakat di mana masyarakat mempunyai peranan di
dalam setiap langkah program pendidikan. Hal ini berarti masyarakat bukan
sekadar penerima belas kasih dari penguasa, tetapi suatu sistem yang percaya
kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi
mudanya.
Terkait
dengan itu, pendidikan juga harus bersama-sama masyarakat, artinya, masyarakat
diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan
persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu
sendiri. Jadi, masyarakat bukan disubordinasikan oleh pemerintah.
Selain
paradigma tersebut, pendidikan harus didasarkan pada kebudayaan nasional yang
bertumpu pada kebudayaan lokal. Kebudayaan Nusantara yang merupakan silang
budaya antarbangsa telah menampung unsur-unsur terbaik dari budaya luar dan
menghasilkan kebudayaan Nusantara.
Unsur-unsur
budaya lokal itu seharusnya dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan sehingga
dapat memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya masyarakat madani yang
berdaya. Di sini tugas pendidikan nasional bukan hanya sekadar menghayati dan
mengembangkan kebudayaan lokal tetapi juga ikut membangun kebudayaan nasional
itu.
Paradigma
berikut adalah proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses
humanisasi. Pendidikan dalam pengertian ini perlu dijadikan upaya mengembangkan
manusia sebagai makhluk hidup, dan makhluk yang mampu bertanggung jawab terhadap
diri sendiri maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
kesempatan untuk belajar bertanggung jawab mengenal dan menghayati serta
melaksanakan nilai-nilai moral perlu ditumbuhkembangkan dalam pendidikan.
Terkait dengan itu relevanlah budaya demokrasi dihidupkan dalam seluruh proses
belajar mengajar. Dengan budaya seperti itu jiwa demokrasi akan tumbuh dan
berkembang secara baik.
Selain
tiga paradigma di atas, desentralisasi manajemen pendidikan menjadi keharusan
demi pemberdayaan masyarakat warga. Penulis menganalisis bahwa kesalahan yang
terjadi dalam pemerintahan Orde Baru adalah pemberlakuan sistem dan praksis
pendidikan nasional yang sifatnya sentralistik.
Model
seperti itu sama sekali tidak bisa mengembangkan dan menumbuhkan potensi-potensi
yang ada di dalam masyarakat, khususnya pengelola pendidikan. Dengan kata lain,
sentralistik justru bertentangan dengan hakikat masyarakat madani. Atau
tegasnya, hal itu memperlihatkan ketidakpercayaan pemerintah pada kemampuan
rakyat sendiri.
Kini
sudah waktunya memberlakukan sistem desentralisasi manajemen dalam pendidikan.
Ini penting, karena desentralisasi memiliki sejumlah dampak positif, antara
lain mengembangkan kebudayaan lokal, mengem-bangkan kebudayaan nasional sebagai
benteng pertahanan menyaring pengaruh-pengaruh kebudayaan global yang negatif,
serta akan mampu mengembangkan inisiatif untuk bereksperimen dan bersaing dalam
pengembangan mutu pendidikan nasional menghadapi persaingan global, serta akan
meningkatkan peran masyarakat swasta untuk mengembangkan ciri khasnya sebagai
sumbangan bagi pemberdayaan civil society.
Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat warga merupakan
elemen-elemen yang terkait dalam tatanan kehidupan bersama. Perhatian yang
seimbang atas ketiga unsur itu dalam praksis pendidikan akan mampu menumbuhkan
orang-orang yang berdaya dalam masyarakat.
Penutup
Semakin
jelas kini betapa persoalan terberat bangsa Indonesia adalah ketiadaan lembaga
kemasyarakatan (society institution) yang real. Pada banyak realitas sosial,
hegemoni state seperti gurita yang terus saja membelit kehidupan warga
masyarakat. Hal tersebut berlangsung pada berbagai aspek dan level kehidupan,
termasuk tentu saja dunia persekolahan kita.
Overlapping
peran dan fungsi kemasyarakatan—sebut saja eksekutif yang merangkap rakyat
kebanyakan—dalam dunia persekolahan kita semakin menjadi ruwet dan terkesan
sebagai sebuah kelaziman yang tidak aneh. Lihat saja pengurus BP3 berbaju
”Komite Sekolah” yang masih tetap menjadi ‘kaki tangan’ sang raja kecil yang
bernama Kepala Sekolah. Simak pula LSM Persatuan Orangtua Murid Indonesia yang
‘pentolan-pentolan’-nya justru eksekutif di dunia pendidikan (baca=
persekolahan). Bukankah orangtua murid itu identik dengan warga masyarakat?
Mengapa LSM Persatuan Orangtua Murid Indonesia tidak digawangi oleh the real
orangtua murid?
Sementara
itu gaung School Based Management ataupun School Council hanya menjadi gincu
kosmetika persekolahan belaka. Padahal dari sinilah segala problematika
pendidikan dan persekolahan sekaligus solusinya bersemi.
Kejujuran
dan keseriusan semua pihak dalam menyongsong era baru dunia pendidikan formal
kita dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berbasis
Kompetensi, akan menjadi titik krusial mengatasi berbagai problema kemandulan
kreativitas dan inovasi yang seharusnya bersemi dari balik dinding sekolah.
Sebuah
institusi sekolah akan mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi siswa bila
berbagai aspek, dan berbagai lini manajerial sekolah dijalankan sesuai dengan
semangat atmosfer filosofis pendidikan yang membebaskan. Dalam arti, secara
praktis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan akan bernasib sama dengan Kurikulum
yang sebelumnya bila manajemen pendidikan yang dilaksanakan di setiap unit
kerja atau sekolah masih dikungkung oleh model kepemimpinan kepala sekolah yang
monolitik, soliter dan jauh dari prinsip-prinsip kreatif dan inovatif.***
Sekian pidato dari saya mudah – mudahan bermanfaat bagi kita semua, dan mudah – mudahan sekolahan
kita tambah maju …. AMIN !!
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan di komentari menggunakan bahasa yang baik dan sopan,, terimakasih atas kunjungan anda. jangan lupa follow ya,,,,